WELLCOME

selamat datang di blog rekam medis ugm angkatan 2009.

Cari Blog Ini

Selasa, 15 Desember 2009

Derajat Kesehatan di Indonesia

Melihat pendidikan kesehatan di Indonesia

Di Indonesia banyak masyarakat menganggap bahwa kesehatan itu tidak lebih penting dari pada harta benda,yang sulit untuk di dapat terutama para rakyat yang hidupnya serba kekurangan,mereka menganggap bahwa kalau sehat dapat sembuh dengan sendirinya sedangkan kalau harta benda tidak akan datang dengan sendirinya tanpa di cari,dan itu yang membuat pendidikan kesehatan di Indonesia semakin lama semakin terpuruk.
Banyak kasus kesehatan di Indonesia sekarang bisa dikategorikan sebagai bom waktu. Salah satunya mengenai masalah Pendidikan Kesehatan kurang diseriusi. Salah satu dari tiga pilar derajat kesehatan adalah perilaku sehat.
Timbulnya perilaku sehat, didasari pada pemahaman dalam pendidikan kesehatan yang berasal dari pendidikan. Jadi, tak mengherankan kalau banyak kasus kesehatan yang mencuat sekarang, bisa jadi disebabkan masih rendahnya pendidikan kesehatan yang diberikan pada masyarakat.
Sebuah komunitas bisa dikatakan sehat, apabila telah memenuhi tiga pilar derajat kesehatan. Ketiga pilar tersebut merupakan perilaku sehat, lingkungan sehat, serta pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
Perilaku sehat merupakan pilar paling utama. Karena komponen tersebut ternyata sangat berpengaruh pada kedua pilar lainnya. Seperti seseorang dengan perilaku sehat, tentu akan menjaga lingkungannya tetap sehat juga. Dan juga dengan perilaku sehat, seseorang akan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada untuk memelihara kesehatannya.
Namun, pada kenyataannya, di Indonesia hal tersebut seperti bertolak belakang. Peran ilmu pendidikan kesehatan sepertinya tidak terlalu diperhatikan. Akibatnya banyak kasus kesehatan merebak akhir-akhir ini. Yang kalau ditelusuri, sebenarnya berawal dari kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kesehatan di sekitarnya. Yang didasarkan pada transfer pendidikan kesehatan mengenai hal ini yang dianggap kurang.
Kurang Terpadu
Hasil penelitian Universitas Sam Ratulangi pada warga Buyat Pante baru-baru ini menunjukkan, bahwa sekitar 72 persen orang di sana tidak mengerti tentang kesehatan lingkungan atau pernah diberitahukan mengenai hal ini. Hasil penelitian ini juga semakin menguatkan asumsi mengenai lemahnya kita menghadapi masalah ini.
Kekurangan ini kemudian makin bertambah parah, saat kita dihadapkan pada kenyataan mengenai sumber daya manusia yang ada. ”Hingga enam tahun terakhir tenaga penyuluh kesehatan yang tercipta hanya sekitar 240 orang. Dan kebanyakan technical assistant, bukan pemain di lapangan seperti yang diharapkan,” tambah Tri.
Selain masalah tersebut, yang paling fatal mengenai hal ini adalah masalah kurang berkesinambungannya program yang dijalankan. Padahal Pendidikan Kesehatan tidaklah bisa diberikan hanya sepotong-sepotong, atau hanya dalam satu waktu yang berbeda. Pemahaman yang baik didapat bila kita terus-menerus mendapatkan transformasi pengetahuan. Dengan cara yang berkesinambungan seperti itulah, banyak kasus kesehaan di negara lain bisa semakin diperkecil. ”Ini juga menunjukkan kurangnya visi preventif dari orang Indonesia,” ucap Tri lagi.

Derajat Kesehatan di Indonesia Masih Tertinggal

Meski beberapa indikator kesehatan terlihat membaik, derajat kesehatan di Indonesia dianggap tertinggal dari negara tetangga. Hal itu, menurut Asisten Ahli Menteri Kesehatan Dr Haspsara Habib Rachmat pada Dies Natalis Poltekes ke 3 di Jakarta, Selasa (17/7), akibat masih mahal dan belum efisiennya fasilitas kesehatan plus tenaga yang belum sesuai kebutuhan. Dia mengatakan angka kematian bayi turun dari 46 pada 1997 menjadi 30,8 per 1.000 kelahiran hidup pada 2006 (proyeksi Badan Pusat Statistik).
Demikian pula angka kematian ibu melahirkan yang turun dari 334 pada 1997 menjadi 262 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2005. Umur harapan hidup meningkat dari 41 tahun pada 1960 menjadi 69,4 tahun pada 2006. Prevalensi gizi kurang pada balita juga menurun dari 37,5 persen pada 1989 menjadi 23,6 persen pada 2006. Sementara di satu sisi, kata dia, deteksi dini beberapa penyakit yang seharusnya bisa dilakukan di tingkat paling bawah masih belum terwujud. 'Masalahnya memang karena ketidaksinkronan antara kebutuhan tenaga kesehatan dan program pendidikan,' tambah Direktur Poltekkes Departemen Kesehatan Heryati. Untuk itu menurut Heryati perlu peningkatan keterampilan tenaga kesehatan baik melalui pelatihan dan pendidikan. Lebih jauh, Hapsara yang juga konsultan senior Departemen Kesehatan menyatakan, secara bertahap, pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan terus dilakukan untuk pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan terutama di daerah terpencil, sangat terpencil, dan daerah perbatasan. 'Sejak 2005 hingga Juni 2007 telah ditempatkan 141 dokter spesialis, 7.091 dokter umum, 2.065 dokter gigi, dan 38.889 bidan,' ungkapnya. Dari jumlah tersebut, kata Hapsara, yang ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil sebanyak 7 dokter spesalis, 3.275 dokter umum, 903 dokter gigi, dan 17.356 bidan. 'Dengan meningkatnya pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan, maka kematian dan kecacatan akibat penyakit dapat ditekan,' jelasnya.

Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat dengan Membiasakan Mencuci Tangan Pakai Sabun

Dalam rangka pencapaian Indonesia Sehat 2010, pencanangan Program Aksi Nasional Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat di Indonesia dalam rangka Pembangunan Manusia Indonesia yang diserukan pada November 2005 masih membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Hal ini melihat masih tingginya angka kematian bayi, balita dan ibu di Indonesia dibanding negara lain di ASEAN, misalnya Singapura, Brunai maupun Malaysia. Indonesia tertinggi diantara ketiganya.
Mencermati kondisi kesehatan masyarakat yang memang belum optimal ini serta mengemukanya berbagai masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia, seperti flu burung, dengue, malaria polio serta kasus gizi buruk. Serta adanya tuntutan dan kesepakatan global yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDG),
Salah satu kegiatan yang dipromosikan untuk dilakukan adalah gerakan cuci tangan pakai sabun, sebagai bagian dari pemasyarakatan PHBS. Cuci tangan pakai sabun adalah cara termudah dan efektif mencegah diare, salah satu penyakit yang menyumbang kematian balita di Indonesia, selain karena malnutrisi juga ISPA.
Tingginya angka kematian balita karena diare disebabkan oleh rendahnya akses masyarakat pada air bersih dan sanitasi, juga rendahnya tingkat pemahaman masyarakat atas higinitas. Salah satu cara cepat dan tepat untuk mencegah diare serta menyelamatkan nyawa anak-anak Indonesia adalah melalui cuci tangan pakai sabun dengan benar. Salah satu studi WHO menunjukkan bahwa praktik cuci tangan pakai sabun pada lima waktu tertentu bisa mengurangi prevalensi diarea sampai 40%. Cuci tangan pakai sabun juga membantu mencegah penyebaran penyakit lain, misalnya Typhoid dan Flu Burung.
Upaya advokasi yang melibatkan masyarakat serta pemerintah secara bersama diharapkan bisa membantu pemerintah RI menyuarakan pentingnya Cuci Tangan Pakai Sabun untuk menurunkan angka kematian bayi dan balita dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakatnya.

Derajat Kesehatan dan Status Gizi Masyarakat 4 Tahun Terakhir Membaik

Dalam empat tahun terakhir, derajat kesehatan dan status gizi masyarakat Indonesia telah semakin membaik. Hal ini ditandai dengan berhasil diturunkannya Angka Kematian Ibu dari 307 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, Angka Kematian Bayi dari 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 26,9 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, dan prevalensi gizi kurang 23,2% pada tahun 2003 menjadi 18,4% tahun 2007
Keberhasilan ini merupakan hasil kerja keras kita semua termasuk jerih payah kader Posyandu di seluruh Indonesia yang tidak pernah mengenal lelah dan dengan sukarela menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya untuk upaya perbaikan gizi keluarga, imunisasi, kesehatan ibu anak dan keluarga berencana, penanggulangan diare dan promosi perilaku hidup bersih dan sehat.
Hal itu disampaikan Ibu Negara Hj. Ani Bambang Yudhoyono ketika membuka Temu Kader Menuju Pemantapan Posyandu Tahun 2009 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta (29/5). Temu Kader Posyandu dihadiri 1.200 kader dari Sabang sampai Merauke ditandai penyematan pin secara simbolis kepada 7 kader sebagai penghagaan pemerintah atas upaya-upaya yang dilakukan para kader Posyandu. Tujuh kader tersebut merupakan perwakilan dari peserta yakni Lindawati (NAD), Atikah Bachtiar (Maluku Utara), Oni Mulyadi (Sulawesi Tengah), Weni Sumara Asih (DIY), Maria Slamet (NTB), Naomi (Papua Barat), dan Made Saidana (Bali).
Dihadapan para kader Posyandu, Ibu Negara mengingatkan kembali tujuh pesan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan dalam Pekan Kesehatan Nasional pada tanggal 18 Juni 2005 di Karanganyar, Jawa Tengah. Ketujuh pesan tersebut adalah aktifkan kembali Posyandu, periksakan ibu hamil minimal 4 kali selama masa kehamilan, berikan imunisasi lengkap kepada bayi, timbanglah bayi dan balita setiap bulan, berantaslah jentik nyamuk dengan 3 M plus, menjaga lingkungan agar tetap bersih, dan ikuti program Keluarga Berencana.
Lebih lanjut dikatakan, temu kader tingkat nasional ini merupakan forum yang sangat penting untuk meningkatkan kinerja kader melalui berbagi pengalaman suka dan duka dalam mengelola Posyandu, sekaligus sebagai ajang untuk menumbuhkan motivasi dan semangat kebersamaan kader dalam rangka mendukung program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat utamanya kelompok rentan yaitu ibu dan anak.
Ibu Negara mengajak para kader untuk tidak terlena dan merasa puas dengan hasil yang telah dicapai. Tantangan ke depan semakin kompleks dan semakin diperberat dengan krisis ekonomi dunia dan terjadinya pemanasan global, sehingga perlu diwaspadai dampak negatifnya bagi rakyat Indonesia, terutama masyarakat yang kurang beruntung.
Menurut ibu Negara, dengan jumlah Posyandu sebanyak 267 ribu yang tersebar di seluruh pelosok desa di tanah air dengan minimal 5 orang kader aktif, maka ada 1,2 juta kader. Oleh karena itu, para kader Posyandu yang sebagian besar perempuan dapat menggerakkan kaum ibu dan anak balitanya datang ke Posyandu guna mendapatkan pelayanan gizi dan kesehatan serta pelayanan lainnya yang tersedia di Posyandu.
Keberhasilan Posyandu dalam program gizi dan imunisasi telah diakui bahkan dicontoh oleh negara-negara berkembang lain di dunia. Saya mengharapkan lanjutkan yang sudah baik, bahkan tingkatkan dengan berbagai kegiatan inovatif yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dengan memperhatikan kearifan lokal, tambah Ibu Negara.
Selain itu, tambah Hj. Ani Yudhoyono, adanya Desa Siaga merupakan pintu masuk untuk mengembangkan berbagai upaya terobosan dalam mempercepat terwujudnya masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat. Upayanya meliputi kesiagaan masyarakat menghadapi dan mengatasi bencana, kejadian luar biasa penyakit menular dan gizi buruk. Menyiapkan makanan tambahan bergizi menggunakan bahan pangan lokal yang murah dan tersedia, agar dapat dipraktekkan sendiri di rumah. Serta pemanfaatan tanah pekarangan untuk tanaman obat keluarga, sayuran, maupun ternak, yang hasilnya dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga, juga dijual untuk menambah penghasilan keluarga.
Dalam acara Temu Kader ini, diakhiri dialog dengan 4 orang kader dari Provinsi NTT, Yogyakarta, Papua, dan Jawa Tengah.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan.


tugas Kelompok :
Ika Septiana Dewi
Agung Kurniawan
Putri Farastya R
Shantie Kautsar
Asep

Tidak ada komentar:

Posting Komentar